JAKARTA – Salah satu pekerjaan dari selesainya kegiatan industri migas terutama yang beroperasi di laut adalah pembersihan anjungan atau platform. Hingga kini anjungan yang sudah tidak terpakai di laut banyak yang dibiarkan begitu saja sehingga menjadi sampah ataupun justru menjadi berbahaya dalam aktivitas pelayaran. Untuk membongkar suatu anjungan migas yang tidak terpakai ternyata membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Julius Wiratno, Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), menyatakan pendanaan menjadi kendala pembongkaran anjungan migas, terutama untuk rencana pembongkaran 100 anjungan yang sudah tidak lagi dipakai.
“Tantangan biaya menjadi kendala untuk 100 platform karena enggak ada dana yang dicadangkan. Ada yang akan diselesaikan dengan cara hibah atau kerja sama,” kata Julius dalam diskusi virtual, Selasa (23/3).
Pembongkaran atau decommissioning anjungan migas lepas pantai butuh dana tidak sedikit. Julius mencontohkan, proyek decommissioning anjungan di Blok Attaka bisa menelan biaya sekitar US$6 juta-7 juta per anjungan.
Di sisi lain pemerintah masih harus menanggung beban tersebut. Adanya beban pembiayaan decommissioning oleh pemerintah buntut dari adanya perbedaan kontrak migas di masa lalu. Sebelum 1964, kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) tidak mewajibkan badan usaha untuk menyediakan dana pascatambang (abandonment and site restoration/ASR). Kemudian dengan PSC skema cost recovery, seluruh aset migas ini menjadi milik pemerintah. Belakangan akhirnya pemerintah memasukkan kewajiban ASR itu.
SKK Migas sendiri sebenarnya sudah banyak menerima permintaan dari berbagai pihak untuk memanfaatkan anjungan. Misalnya dari salah satu anak usaha BUMN yang mau membongkar anjungan tanpa biaya dengan syarat bongkaran anjungan itu menjadi miliknya. Kemudian, Kementerian Pertahanan juga pernah meminta titik-titik anjungan yang bisa dijadikan tambat kapal. Namun, keduanya tidak berlanjut. Sejauh ini kerja sama pemanfaatan akam coba dijajaki dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Yang lanjut terus dengan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). Kalau MoU (nota kesepahaman) jadi, sudah teken, langsung kami lakukan decommissioning,” ujar Julius.
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mendata bahwa negara harus mengeluarkan biaya hingga kisaran Rp 13 triliun untuk membongkar sekitar 100 anjungan migas lepas pantai yang sudah tidak beroperasi. Pemanfaatan kembali anjungan ini untuk keperluan lain diharapkan bisa jadi solusi dari masalah biaya.
Basilio Dias Araujo, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementrian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, menuturkan sesuai peraturan nasional maupun internasional, anjungan migas lepas yang tidak lagi dipakai harus dimusnahkan atau dibongkar. Di Indonesia, tercatat terdapat 103 anjungan migas lepas pantai yang harus dibongkar.
Kewajiban membongkar anjungan ini, termasuk membiayainya, disebutnya ada di tangan pemerintah. “Dibutuhkan sekitar Rp 13 triliun untuk membongkar anjungan ini. Bisa dibayangkan berapa yang harus dikeluarkan pemerintah setiap tahunnya,” kata Basilio.
Sektor perikanan dan kelautan, menurut dia jadi sektor yang tepat untuk memanfaatkan anjungan karena bisa dijadikan terumbu karang buatan atau tempat budidaya ikan. Tidak hanya itu, untuk sektor pertahanan, anjungan ini juga bisa dipakai sebagai pangkalan Angkatan Laut di tengah laut ketimbang harus membangun lagi fasilitas pengawasan yang membutuhkan biaya besar.
“Jadi ada alternatif-alternatif untuk anjungan ini dimanfaatkan. Tetapi ini tergantung apabila insinyur katakan anjungan ini bisa dipakai sampai sekian tahun dengan aman,” kata Basilio.(RI)
Leave a Reply